Pages

Saturday, March 28, 2015

"Tegurlah Seorang Akan Yang Lain Dalam Kasih"


Lebih baik teguran yang nyata-nyata dari pada kasih yang tersembunyi. (Amsal 27:5)


Kebaktian Minggu pagi baru saja usai. Bill sengaja mendahului anggota jemaat lainnya bersalaman dengan pendeta John (yakni ayahnya sendiri) dan para anggota majelis, supaya dapat menunggu dan menemui pak Graham di luar. Hatinya berdebar, membayangkan apa yang akan dibicarakannya dengan tuan konglomerat itu. Pak Graham selama ini dikenal sebagai penyumbang dan pemberi persembahan dan sepersepuluhan dalam jumlah terbesar di seluruh jemaat itu, bahkan di antara jemaat-jemaat gereja lainnya di kota mereka. Sumbangan finansial pak Graham telah sangat membantu berbagai program gereja. Bill menyadari, apa yang akan dikatakannya dapat membuat pak Graham sangat gusar, dan akibatnya dapat memukul gereja itu sendiri secara finansial, apabila pak Graham sampai memutuskan untuk menghentikan segala sumbangan dan bantuannya, bahkan sampai keluar dari keanggotaan gereja. Tapi Bill menguatkan hatinya. Ia tetap harus bicara! Ia meyakini, Tuhan sendirilah yang menaruh beban di hatinya untuk menyampaikan pesan yang sangat penting ini.

Setelah menunggu beberapa menit di halaman gereja, anak muda itu melihat pak Graham muncul dari tengah-tengah kerumunan jemaat di depan pintu gereja, diiringi istrinya, bu Nathalie Graham. Setelah bersalaman dengan pendeta dan majelis, sambil tersenyum lebar keduanya pun bersalam-salaman dengan anggota jemaat lainnya, sambil sesekali berbasa basi singkat dengan beberapa orang. Saat selesai berbasa basi, nampak keduanya berjalan ke arah mobil mereka yang diparkir di dalam lapangan parkir gereja yang tidak terlalu besar.
Bill pun segera bergegas menghampiri pasangan suami-istri tersebut, dan menyapa, "Hai pak Graham, bu Graham," sambil menyalami keduanya, yang menyambutnya dengan hangat, "Hai Bill."
 Anak muda itu pun berkata, "Maaf pak Graham, boleh saya berbicara berdua saja dengan Anda? Hanya sebentar."
"Oh iya… Tentu…", jawab pak Graham, sambil melirik ke arah istrinya dengan sedikit ragu.
"Pergilah Jim, bicaralah kalian," kata bu Nathalie sambil tersenyum. "Aku akan menunggu di mobil."
Lalu nyonya Graham masuk lebih dulu ke dalam mobil.

Kedua lelaki itu pun bergeser sedikit ke salah satu sudut lapangan parkir gereja, yang sudah terlihat agak kosong karena sebagian besar kendaraan milik warga jemaat yang sebelumnya diparkir di situ sudah meninggalkan tempat itu.
Pak Graham memandang anak muda itu, yang wajahnya nampak sangat serius, sehingga menimbulkan tanda tanya di dalam hatinya.
"Ada apa, Bill? Nampaknya serius sekali," kata pak Graham. "Semua baik-baik saja 'kan?"
Bill nampak ragu sejenak, lalu ia berkata, "Saya harap Anda tidak tersinggung mendengar apa yang akan saya utarakan ini , pak Graham -- karena ini menyangkut diri Anda."
"Saya?? Mengapa, Bill? Ada yang tidak beres? Atau ada masalah, barangkali?"
Ada sedikit nada kecemasan dalam suara pak Graham, tapi ia berusaha menahannya.
Bill menarik nafas dalam-dalam, lalu dengan suara yang makin dikecilkan, seolah-olah khawatir ada yang ikut mendengar, ia mulai menceritakan kepada pak Graham apa yang dialaminya sehari sebelumnya.

Pada hari Sabtu malam itu, tidak ada sesuatu yang istimewa. Jam menunjukkan kira-kira pukul setengah delapan malam, dan Bill sedang berjalan pulang, selepas  memimpin ibadah remaja di rumah salah satu warga jemaat. Ketika ia baru saja lewat di depan sebuah hotel kecil, tiba-tiba di dalam batinnya ia seperti mendengar bisikan, "Masuklah ke hotel itu."
Bill tertegun, dan menghentikan langkahnya. Ia menunggu sebentar, hingga didengarnya kembali bisikan itu, "Masuklah ke hotel itu."
Bill pun yakinlah, bahwa bisikan itu berasal dari Tuhan. Tapi apa maksud-Nya? Namun Bill tidak menunggu lebih lama lagi. Ia pun melangkah hendak masuk, dan langsung disambut ramah oleh petugas penjaga pintu, "Selamat datang." Bill membalas ramah sapaan itu, "Terima kasih."

Setelah berada di dalam lobby hotel, ia memandang ke sekelilingnya. Tidak banyak orang yang dilihatnya di situ. Di sebelah kirinya, di salah satu sudut lobby, 3 orang pria nampak sedang berbincang santai di ruang duduk, sedang di sebelah kanan hanya ada 1 orang sedang sibuk dengan laptopnya. Tidak ada satupun orang yang dikenal Bill di situ.
"Apa selanjutnya?" tanya Bill dalam hati.
Seolah menjawab pertanyaannya, terdengar kembali bisikan itu, "Pergilah ke lift."
Bill pun melangkahkan kakinya. Setelah diberitahu oleh petugas front desk di mana letak lift hotel itu, tanpa membuang-buang waktu Bill segera melangkah ke sana.

Setelah berdiri di depan pintu lift, dan menunggu kira-kira lima menit, pintu itu pun terbuka. Kosong.
Bill pun melangkah masuk.
Tiba-tiba ia tertegun lagi. Tombol ke lantai berapa yang harus ditekannya?
Lalu ia merasa tangannya dituntun. Ia pun menekan tombol bernomor 4.

Tidak lama kemudian, sampailah ia ke lantai yang ditujunya. Setelah melangkah ke luar lift, ia mengamati sekeliling lorong hotel itu. Sepi.
Tapi kemudian, kira-kira 20 meter di depannya, dari ujung lorong muncul dua orang, pria dan wanita. Yang wanita sama sekali tidak dikenal Bill. Ia nampak mesra sekali menggandeng lengan pria itu. Ia nampak masih sangat muda, mungkin sedikit lebih muda dari Bill, dan sangat cantik.  Sedang yang pria justru sangat dikenalnya.
Pak Graham.
Mulut Bill sudah terbuka hendak menyapa. Tapi dengan segera diurungkan niatnya itu. Timbul pikiran aneh di kepalanya. Mengapa pak Graham berada di hotel, di malam hari, hanya berdua saja dengan seorang wanita asing yang bukan istrinya?
Ali-alih hendak menyapa, Bill justru dengan sengaja membalikkan badan, membelakangi pasangan itu, lalu mengeluarkan ponsel dari sakunya, dan pura-pura hendak menelepon seseorang. Ia berharap pak Graham tidak mengenalinya, walaupun kemungkinan itu kecil, pikirnya.
Tapi entah kenapa, pak Graham tidak mengenali Bill sama sekali. Ketika jarak mereka hanya tinggal kira-kira 5 meter, pak Graham memasukkan kunci ke salah satu pintu kamar, dan membukanya. Mereka berdua, ia bersama gadis muda itu, pun masuk ke dalam. Pintu pun langsung ditutup, dan Bill mendengar sayup-sayup suara kedua orang itu tertawa-tawa, seperti sedang saling bercanda.
"Sudah cukup," kata Bill dalam hati. "Tuhan menyuruhku ke sini untuk melihat hal ini. Sekarang aku sudah melihatnya. Waktunya aku pulang."
Ia pun bersegera menuju ke lift.

Malam itu Bill berdoa menggumuli apa yang dilihatnya di hotel. Ia pun menyudahi doanya dengan keyakinan bahwa ia harus memperingatkan pak Graham akan apa yang dilakukannya, dan Tuhan menugaskan hal itu khusus kepadanya. Baik, Tuhan! Aku akan mengatakan itu kepadanya di Minggu besok, batin Bill. Ia pun tertidur segera sesudah itu, dengan pikiran yang sedikit lebih tenang.

Demikianlah Bill menyudahi ceritanya, sambil memandang reaksi pak Graham yang sedang tertegun di depannya.
"Saya sangat berharap saya keliru, pak Graham," kata Bill. "Tapi melihat keberadaan Anda di hotel itu, di malam hari, bersama seorang gadis, ..."
"Bill!" sela pak Graham tiba-tiba. "Saya mohon, jangan ceritakan kepada siapa-siapa apa yang kau lihat itu. Terutama kepada istriku. Okay?"
Bill memandang raut muka pak Graham. Nampak kecemasan yang teramat sangat. Dan kegugupan.
Ia berpaling sejenak ke mobilnya. Nampak istrinya di dalam mobil, di sebelah kursi pengemudi, sedang sibuk sendiri dengan ponselnya.
Ia berpaling kembali kepada Bill.
"Dengar! Bantuan apa yang kau perlukan? Aku akan berikan berapapun yang kamu minta!"
"Pak Graham..."
"Atau untuk sekolahmu? Oh ya, aku dengar kau sedang mencari beasiswa, bukan? Katakan saja, aku punya banyak kenalan orang-orang penting yang dapat mengurus hal itu. Aku jamin, kau akan mendapatnya tanpa kesulitan..."
"Pak Graham!" Bill menyela dengan tegas. "Saya menceritakan hal ini bukan karena mengingini sesuatu dari Anda."
Pak Graham terdiam.
"Kalau pun ada yang saya inginkan dari Anda, maka yang saya inginkan adalah melihat perkawinan Anda diselamatkan," lanjut Bill. "Itu juga pasti yang diinginkan Tuhan, bukan? Itu sebabnya Ia memperlihatkan kepada saya segala sesuatunya malam itu."
Pak Graham tertunduk.
"Anda belum terlambat, pak Graham," kata Bill, sambil memegang erat kedua lengan lelaki itu. "Tuhan menyuruh saya memperingatkan Anda, artinya Anda masih diberi-Nya kesempatan. Tapi saya minta, jangan Anda menunda-nunda untuk menyesalinya, bertobat, dan memperbaiki segala sesuatu. Semakin lama Anda menunda, iblis akan mengeraskan hati Anda, sehingga segala peringatan dari Tuhan itu menjadi sia-sia. Selanjutnya, Anda hanya akan menunggu kehancuran."
Pak Graham tersentak mendengar kata-kata itu. Tapi ia berusaha menguasai dirinya.
"Saya sarankan, bereskanlah segala sesuatunya hari ini juga, pak Graham. Jangan menunda lama-lama."

Sementara itu, di dalam mobil, nampak bu Nathalie mulai gelisah, karena sudah lama menunggu. Ia memandang ke arah kedua lelaki itu, yang masih nampak serius berbicara. Dan ia sedikit heran, melihat raut muka suaminya dari kejauhan, nampak gugup. Ada apa?
Kemudian dilihatnya Bill menggenggam erat tangan suaminya dan menepuk pelan bahunya, sambil mengucapkan sesuatu, tapi ia tak dapat mendengar apa yang dikatakannya. Lalu keduanya berpisah. Bill terlihat masuk kembali ke dalam gereja, melalui pintu samping. Kebetulan hari itu ia bertugas sebagai salah satu pengajar Sekolah Minggu, yang akan berlangsung beberapa saat lagi.
Suaminya melangkah menuju mobil. Wajahnya terlihat biasa saja, tapi istrinya melihat ada yang tidak biasa dalam cara berjalannya, yang nampak sedikit berat, seperti sedang menyeret sebuah beban yang sangat berat. Ada apa dengan suaminya? Apakah karena sesuatu yang dikatakan Bill?
Tapi karena dalam perjalanan pulang nanti suaminya yang memegang kemudi, ia memutuskan untuk tidak bertanya apapun selama di jalan, supaya tidak mengganggu konsentrasinya dalam mengemudi. "Aku akan menanyakannya nanti di rumah," batin istrinya.

Tapi setibanya mereka di rumah, ternyata kesempatan itu tak diperolehnya. Begitu keduanya memasuki pintu depan, suaminya berkata kepadanya, "Nath, kepalaku agak pening. Aku ingin berbaring sebentar."
Istrinya tidak bertanya macam-macam. Ia hanya menjawab, "Baiklah," lalu menambahkan, "Apa ada yang perlu kuambilkan untukmu, Jim?"
"Tidak, Sayang. Terima kasih," jawab suaminya. Ia lalu masuk ke kamarnya, dan langsung membaringkan dirinya. Tanpa mencopot sepatu, tanpa mengganti baju.
Istrinya menyusul di belakangnya. Ketika dilihatnya suaminya langsung berbaring seperti itu, ia mendekatinya, lalu dengan sabar mencopoti kedua sepatu suaminya, berikut kaus kakinya. Tidak lupa dibetulkannya posisi bantal kepala sang suami, supaya lebih nyaman baginya.
"Kalau kau perlu sesuatu, panggil saja aku ya Sayang," kata wanita itu. Diciumnya lembut dahi lelaki yang sangat dicintainya itu. Jim Graham hanya mengangguk pelan, dengan mata yang sudah setengah terpejam. Lalu Nathalie pergi keluar meninggalkan kamar itu, seraya menutup pintunya pelahan.

Selagi berbaring dengan mata terpejam, pikiran Jim mulai menerawang. Ia teringat peristiwa di Sabtu malam sebelumnya, tepat seminggu sebelum Bill melihatnya di hotel bersama Cindy malam itu. Malam itu, ia sedang duduk di lobby hotel, menunggu Cindy. Ia sudah berkata pada istrinya, akan bertemu klien. Ketika ia sedang menunggu, dilihatnya pendeta John masuk melalui pintu depan. Pendeta John juga melihatnya, lalu mendekati dan menyalaminya.
"Selamat malam, pak Pendeta," sapa Jim, sambil menjabat tangan pendeta John.
"Selamat malam, pak Graham," jawab pendeta John sambil tersenyum. "Apa kabar?"
"Baik, pak Pendeta. Saya... sedang menunggu klien."
"Ahh begitu," sahut pendeta John. Kemudian ia melanjutkan, "Sayang ya, di kota ini tidak ada hotel lain yang lebih besar dari ini. Malah saya berpikir, untuk bertemu dengan klien, sebenarnya rumah Anda sendiri malah lebih nyaman. Lebih besar, lebih megah."
Jim tersenyum, lalu menyahut, "Ah, Anda melebih-lebihkan saja, pak Pendeta."
"Tapi ah,  tahu apa saya," jawab pendeta John, sambil tertawa. "Saya kan pendeta, yang pengusaha itu Anda. Tentu punya pertimbangan sendiri."
"Saya sekedar senang saja, dengan suasana di sini," kata pak Graham.
"Tentu, tentu. Di sini cukup tenang," kata pendeta John. "Sepupu saya juga menginap di sini. Ia baru tiba dari luar kota, dan berencana tinggal seminggu di sini untuk urusan bisnis. Saya ke sini untuk menemuinya, sekaligus memintanya untuk tinggal saja bersama kami, selama ia berada di kota ini."
"Iya betul, pak Pendeta," timpal Jim. "Untuk apa tinggal di hotel, kalau sudah ada kerabat dekat yang sudah bersedia menampung di rumahnya?"
"Betul sekali, pak Graham," jawab pendeta John. Kemudian ia memalingkan wajahnya, tepat pada saat ada seorang lelaki yang agak gemuk, nampak baru  keluar dari lift, dan melihat sekeliling seperti sedang mencari seseorang.
"Ah, itu dia sepupu saya," kata pendeta John. "Saya ke sana dulu untuk menemuinya, pak Graham."
"Silakan, pak Pendeta."
"Senang bertemu dengan Anda," kata pak Pendeta, sambil kembali menjabat tangan pak Graham. "Semoga pertemuan bisnis Anda sukses. Tuhan memberkati."
"Sama-sama, pak Pendeta," jawab Jim. "Tuhan memberkati Anda juga."
Lalu pendeta John melangkah mendekati lelaki gemuk tadi, untuk menemuinya. Baru saja pendeta John meninggalkan Jim beberapa langkah, Cindy muncul dari pintu depan hotel. Begitu melihat pak Graham, gadis itu segera mendekatinya, lalu langsung merangkulnya.
"Apa kabar, Sayang? Maaf ya, aku terlambat" sapa Cindy, lalu menciumnya  dengan mesra di bibirnya.
Tepat pada saat itu, pendeta John sempat menoleh ke arah Jim. Ia tertegun.
Ia heran melihat pak Graham sedang berciuman mesra dengan seorang gadis muda.
Mata Jim sempat melirik ke arah pendeta John, dan ia langsung saling bertatapan dengan mata pendeta itu. Betapa terkejutnya Jim, dan langsung melepaskan ciumannya dari bibir Cindy.
"Ada apa, Sayang?" tanya gadis itu, dengan heran. "Kamu marah ya..."
"Ti-tidak, Sayang," jawab Jim. "Emmm... Kita langsung ke kamar saja yuk?"
"Yuk," jawab Cindy, sambil kembali tersenyum.

Pikiran Jim pun kembali ke masa kini. Ia berpikir, pasti pendeta John pun saat itu sudah mencium sesuatu yang tidak biasa di malam itu. Tapi ia tidak berkata atau menanyakan apapun tentang hal itu kepadanya, baik di hari Minggu esoknya maupun hari Minggu berikutnya.
Sedang Bill?
Sekali melihat ketidakberesan pada diri Jim, Bill langsung menegurnya di hari berikutnya.
Dan ia bergidik mengingat kata-kata Bill.
"Semakin lama Anda menunda, iblis akan mengeraskan hati Anda, sehingga segala peringatan dari Tuhan itu menjadi sia-sia. Selanjutnya, Anda hanya akan menunggu kehancuran."
Tiba-tiba hatinya bergetar. Air matanya pun mulai menetes.


Sementara itu, kekhawatiran bu Graham mulai muncul, ketika menjelang petang suaminya tidak kunjung keluar dari kamar, ataupun memanggilnya untuk sesuatu keperluan. Beberapa telepon yang masuk terpaksa ditolaknya, dengan alasan suaminya sedang sakit. Sedang ia sendiri mulai berpikir, apakah suaminya benar-benar sedang sakit? Saat makan siang pun ia tidak nampak, padahal biasanya ia yang paling dahulu ada di sana.
Terdorong rasa kuatirnya, Nathalie pun bergegas mendatangi kamar tempat suaminya berbaring. Namun, saat tangannya menyentuh pegangan pintu dan hendak membukanya, ia tertegun. Sayup-sayup didengarnya suara dari dalam. Seperti suara tersedu-sedu. Hah? Suaminya sedang menangis? Ada apa gerangan?
Pelahan dibukanya pintu kamar, dan dengan hati berdebar-debar ia menengok ke dalam. Apa yang dilihatnya? Nampak suaminya sedang duduk di pinggir ranjang, sambil membungkuk dalam-dalam dengan tangan menutupi wajah. Suara sedu-sedan itu makin jelas terdengar, dan memang itu suara Jim, suaminya.
Nathalie pun melangkah masuk, dan pelahan-lahan mendekati suaminya dengan perasaan campur-aduk antara rasa kuatir dan rasa heran. Mengapa ia tiba-tiba melihat suaminya menangis? Apakah rasa pusing di kepala yang dialaminya tadi, karena ia menyimpan suatu masalah? Masalah yang sangat berat, hingga tidak mampu ia utarakan? Beribu pertanyaan muncul di pikirannya.
Apakah ada hubungannya dengan percakapannya dengan Bill, tadi pagi? Ia sudah merasa tidak enak, melihat perubahan sikap suaminya sejak saat itu. Apa yang mereka percakapkan? Ada apa sebenarnya?
Sementara hatinya masih bertanya-tanya, ia melihat suaminya pelahan-lahan mengangkat wajahnya, lalu memandang kepadanya dengan matanya yang sudah merah dan berair. Apa yang terjadi selanjutnya, lebih mengejutkannya lagi. Suaminya tiba-tiba menerpa dan merangkul kedua kaki istrinya yang masih berdiri termangu-mangu. Ia memeluk kaki Nathalie erat sekali, dan mulai menangis lagi, bahkan lebih keras dari sebelumnya. Badannya berguncang-guncang hebat sekali karena tangisan itu, hingga Nathalie hampir kehilangan keseimbangan. Tapi ia segera menguasai dirinya.
Pelahan Nathalie membungkuk dan menyentuh bahu suaminya, sambil dengan lembut memintanya berdiri. Tapi Jim seolah menolak, bahkan mempererat pelukannya pada kaki istrinya. Di tengah-tengah tangisannya ia mendongakkan wajahnya yang sudah memerah, memandang istrinya, lalu meraung dengan sangat menyayat hati, "Nathalie! Maafkan aku! Aku sudah berdosa! Aku benar-benar bejat!"
Istrinya terheran-heran mendengarnya.
"Apa maksudmu, Jim? Ayolah berdiri..."
Tapi suaminya menggeleng-geleng dengan keras, bahkan semakin kuat raungannya, "Aku berdosa! Tidak patut dimaafkan! Nathalie, aku sudah gagal sebagai suami!"
"Apa sih yang kau bicarakan? Ayo berdirilah, Jim. Mari kita duduk, lalu kau jelaskan padaku," sahut istrinya, masih dengan nada lembutnya.
Setelah dengan susah payah dan sedikit memaksa, akhirnya Nathalie berhasil membuat suaminya duduk kembali di pinggir ranjang, dan dia sendiri duduk di sampingnya.
"Ada apa, Jim? Kau membuatku bingung dengan omonganmu," kata istrinya, sambil memegang dan menepuk lembut di pundak suaminya, untuk menenangkannya. Jim berusaha keras meredakan tangisnya sendiri, dan badannya yang sejak tadi berguncang-guncang pelahan mulai meneduh.
"Ayo, jelaskan padaku. Apa yang sudah kau perbuat, Jim? Apa yang terjadi?"
Ia melihat suaminya berusaha mengatur nafasnya, menarik nafas dalam-dalam, mengeluarkannya lagi. Nathalie pun menanti dengan sabar, hingga suaminya siap berbicara.
"Nath," kata suaminya. Lalu ia terdiam sebentar.
Kata-kata berikutnya bagai geledek di telinga Nathalie.
"Aku sudah berselingkuh..."
Nathalie terdiam. Berusaha memastikan ia tidak salah dengar.
"A-apa?" istrinya berkata pelan, nyaris bagai bisikan. "Jim? Kau...?"
"Berselingkuh, Nathalie... Ya, kau tidak salah dengar... Aku punya affair dengan perempuan lain..."
Nathalie berusaha keras menguasai dirinya. Ia berusaha untuk tetap tenang. Tangannya yang sedang menyentuh bahu suaminya, sempat gemetaran. Maka ia pun pelahan melepaskan bahu Jim, dan menaruh tangannya pada pahanya sendiri.
Siapa sangka, ia akan pernah mendengar hal ini? Dan ini keluar dari mulut suaminya sendiri.
Nathalie pun menanyakan hal yang pertama terlintas di pikirannya.
"Dengan siapa...?"
Ia ingin tahu, siapa wanita yang telah sanggup membuat suaminya yang setia dan penyayang itu, berpaling darinya.
"Cindy..."
Nathalie terdiam lagi. Cindy?
Gadis muda itu. Ya, tentu saja. Dirinya sendiri sudah tidak muda lagi. Itu sebabnya Jim mencari yang masih belia. Dan Cindy adalah pilihan ideal. Tentu saja.
"Apa aku sudah tidak menarik lagi buatmu, Jim...?"
Suara istrinya nyaris tidak terdengar. Tapi Jim dapat mendengarnya dengan jelas. Bahkan sangat jelas. Nyaring, bagai petir di batinnya.
"Nath, aku sudah khilaf.... Sudah tersesat! Aku tidak tahu apa yang aku perbuat...", jawab suaminya terbata-bata.
Keduanya terdiam. Lalu Jim menyambung, "Kalau saja aku dapat memperbaiki ini semua..."
"Begini saja, Jim," sela istrinya. "Aku tidak marah kepadamu. Tapi aku juga tidak ingin ini menggantung dalam ketidakjelasan."
Jim memandang Nathalie. Menanti kata-katanya selanjutnya.
"Sekarang, pilihlah. Aku, atau dia."
Jim memandang lurus pada istrinya. Lalu katanya -- dan kali ini, tidak terbata-bata lagi, "Nath! Kalau itu pilihannya, tentu saja aku memilih kau!"
Dan sambungnya lagi, "... Kalau aku masih boleh mendampingimu, tentunya..."
Nathalie balas memandang mata suaminya. Dalam, dan tajam sekali. Seolah berusaha melacak, mencari tanda-tanda keseriusan dari kata-katanya tadi.
Dan ia menemukannya. Suaminya serius. Ya, sangat serius. Tanpa kepura-puraan.
Nathalie pun tersenyum, ketika temuannya diperkuat dengan kata-kata Jim selanjutnya.
"Nath, aku akan putuskan Cindy, hari ini juga. Saat ini juga!"
Jim segera meraih ponselnya, yang tergeletak di meja di samping ranjang.
Ketika ia sedang menekan-nekan tombol di ponselnya untuk mencari nomor Cindy, istrinya berkata, "Jangan lupa katakan satu hal ini padanya, Jim."
Suaminya memandangnya.
"Apa, Nath? "
"Jangan lupa minta maaf padanya. Karena kau sudah memanfaatkan dia untuk kesenanganmu."
Suaminya pun tercenung sebentar. Meresapi kata-kata istrinya. Lalu mengangguk.
"Tentu, Nath. Akan kukatakan itu padanya."
"Katakan juga", lanjut istrinya, sambil memegang lengan suaminya, "bahwa aku tidak marah padanya."
Jim sejenak memandang wajah istrinya, lalu tersenyum.
"Memang tidak salah aku memilihmu sebagai istri, Nath."
Nathalie ikut tersenyum.
Bibir mereka berdua pun bertemu. Berciuman, lama sekali.
Lalu Jim berkata sesudahnya, "Mengapa aku bisa sebodoh itu?"
"Kau ini memang bodoh sejak dulu, Jim," canda istrinya, dengan senyum yang makin lebar. "Dan aku lebih bodoh lagi, karena mau menjadi istrimu."
Keduanya tertawa.
"Sudahlah, Jim. Cepat telepon dia," sergah Nathalie.
"Oh, iya," jawab suaminya, seperti tersadar.

Malam itu, terdengar ketukan di pintu rumah pendeta John. Istrinya, Mary, membukakan pintu.
"Selamat malam, bu Larson," sapa Jim Graham, sambil berdiri di depan pintu.
"Oh, pak Jim Graham rupanya," sapa Mary, dengan ramah. "Selamat malam, silakan masuk Pak. Kehormatan besar bagi kami, ketamuan Anda."
Jim tersenyum, lalu melangkah masuk. Ia pun dipersilakan duduk di ruang tamu.
"Pak Pendeta ada, Bu?" tanya Jim.
"Oh ya, kebetulan suami saya juga baru pulang dari kunjungan ke warga jemaat," sahut bu Mary. "Tunggu sebentar ya Pak. Saya panggilkan beliau."
"Terima kasih, Bu," jawab Jim.

Beberapa menit kemudian, pendeta John pun keluar untuk menemui tamunya, dengan pakaian santai namun tetap rapih, seperti kebiasaannya.
Jim pun berdiri, untuk menyalami sang tuan rumah.
"Selamat malam, pak Pendeta," kata Jim.
"Selamat malam, pak Graham," jawab pendeta John, sambil menjabat tangan Jim yang terulur. "Apa kabar?"
"Puji Tuhan, amat sangat baik, pak Pendeta," jawab Jim. "Khususnya sekarang."
Oh, puji Tuhan. Syukurlah kalau begitu," sahut pendeta John, sambil tersenyum.

Setelah berbasa basi sejenak dan keduanya duduk, Jim pun mulai mengutarakan maksud kedatangannya.
"Saya datang untuk membuat pengakuan, pak Pendeta," kata Jim.
Alis pendeta John terangkat sedikit, mendengar itu. "Ah, benarkah? Tentang apa?"
"Pak pendeta masih ingat, pertemuan kita di hotel? Waktu pak pendeta datang untuk menemui sepupu bapak di sana?"
"Oh iya, tentu," jawab pendeta John. "Waktu itu Anda sedang  menunggu klien Anda."
Jim terdiam sebentar. Lalu ia berkata, "Itu yang mau saya akui, pak Pendeta."

Dan selanjutnya, Jim pun bercerita panjang lebar. Bagaimana ia mengenal Cindy dari salah seorang kliennya, bagaimana mereka mulai berhubungan gelap, termasuk kencan mereka yang tanpa sengaja dipergoki oleh pendeta John di hotel pada malam itu.
Juga ia berkata, bahwa ia sudah mengakui semuanya pada Nathalie, dan mereka sudah berdamai hari itu juga. Dan sekaligus ia sudah mengakhiri hubungannya dengan Cindy, demi memulihkan pernikahannya.
"Segala puji syukur bagi Tuhan," kata pendeta John, segera setelah Jim mengakhiri ceritanya.
"Saya senang Anda sudah menyadari semua kesalahan Anda, dan sudah bertobat, pak Graham," pendeta John melanjutkan.
"Dan sekaligus saya mau berterima kasih pada Bill, yang sudah menegur saya. Dialah yang dipakai Tuhan untuk menyelamatkan rumah tangga kami."
"Akan saya sampaikan," kata pendeta John. "Dia sedang keluar ke rumah temannya."
"Cuma satu hal, pak Pendeta," kata Jim. "Satu hal --- ehm, yang agak saya sesalkan."
"Apa itu, pak?"
"Saya yakin, Anda sudah mencium sesuatu yang tidak biasa, pada malam itu. Dan Anda pun melihat dengan jelas, waktu Cindy menemui saya. Saya heran juga, sejak saat itu Anda tidak pernah menyinggung, atau menanyakan hal tersebut pada saya. Yah, memang di pikiran saya pada waktu itu, kalaupun Anda menanyakan, pastilah akan saya jawab dengan berbagai dalih. Tapi intinya, Anda diam saja. Anda sebagai pendeta, yang -- setahu saya -- bertanggung jawab "memelihara" jemaat. Malah akhirnya Bill-lah yang digerakkan Tuhan untuk memperingatkan saya."
Seketika pendeta itu terdiam.


Lebih baik teguran yang nyata-nyata dari pada kasih yang tersembunyi. (Amsal 27:5)

No comments:

Post a Comment