Pages

Friday, December 11, 2015

Seputar Natal : Benarkah Yesus Lahir di Kandang Hewan?

Natal sebentar lagi tiba! Gemerlap perayaan setahun sekali ini, bagi mayoritas umat Kristen memang amat ditunggu-tunggu. Di tengah-tengah kesibukan kita mempersiapkan segala sesuatu  untuk perayaan Natal, penulis ingin mengajak sidang pembaca yang budiman untuk sejenak membahas mengenai salah satu tradisi Natal yang telah dipercaya, dipegang dan dilestarikan turun-temurun selama (mungkin) ratusan tahun.

Salah satu tradisi ini, yang sudah diterima umum di kalangan warga gereja menyangkut kelahiran Yesus adalah: bahwa Yesus dilahirkan di kandang hewan.
Dari mana asalnya tradisi ini? Tidak lain, berasal dari teks Lukas 2:7 yang berbunyi:

"Dan ia melahirkan seorang anak laki-laki, anaknya yang sulung, lalu dibungkusnya dengan lampin dan dibaringkannya di dalam palungan, karena tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan."

Kata "palungan" dalam ayat inilah yang dijadikan patokan untuk menyimpulkan bahwa peristiwa kelahiran itu terjadi di kandang hewan ternak, atas asumsi bahwa di tempat itulah sewajarnya ditempatkan sebuah palungan sebagai tempat menaruh makanan bagi hewan ternak. Namun, benarkah demikian?
Mari kita telusuri bersama.

Pertama, ayat ini maupun bagian-bagian lain dalam Injil Lukas yang berbicara seputar kelahiran Yesus, tidak sedikit pun menyebut-nyebut tentang "kandang". Menempatkan sebuah keluarga muda, apalagi dengan seorang wanita muda yang tengah hamil tua dan menjelang bersalin, di dalam sebuah kandang bukanlah sesuatu yang dapat diterima dari segi logika, etika moral, kultural, atau apa pun - bahkan pada zaman itu sekalipun. Sekiranya penempatan di kandang itu benar-benar terjadi, hal mana akan merupakan sesuatu yang sangat tidak biasa dan di luar kewajaran umum, pastilah penulis Injil Lukas akan menyebutkannya secara eksplisit, dan terang-terangan menyebut "kandang" sebagai tempat kelahiran Tuhan.

Kedua, kata dalam bahasa asli Injil Lukas (bhs Yunani) yang diterjemahkan dengan "rumah penginapan" dalam ayat tersebut adalah kataluma (κατάλυμα). Penelusuran lebih jauh menyangkut kata ini mengungkapkan beberapa hal, di antaranya:

  • Kata ini memiliki cakupan pengertian yang luas. Bisa mengacu kepada semacam tempat bermalam bagi rombongan kafilah; biasanya tempat-tempat semacam ini dibangun di sisi jalan raya yang sering dilewati rombongan kafilah semacam itu, berupa lapangan terbuka yang dikelilingi bangunan khusus yang berfungsi seperti "benteng" yang melindungi rombongan tersebut (lihat gambar). Hewan-hewan yang difungsikan sebagai pengangkut barang (unta, keledai, dll.) ikut dibawa masuk ke dalamnya.
 Kebanyakan terjemahan Alkitab yang kita miliki menerjemahkan kata kataluma dalam Lukas 2:7 dalam pengertian tempat bermalam seperti ini; walau tidak tertutup kemungkinan bagi pengertian lain, yang akan kita bahas kemudian.

  • Memang ada juga semacam penginapan yang biasanya berada di dalam kota, dan berupa bangunan khusus semacam hotel untuk tempat menginap; tapi Injil Lukas menggunakan kata yang berbeda untuk menggambarkan tempat semacam ini, yaitu pandocheion (πανδοχεῖον), yang dapat kita temui dalam Lukas 10:34, yang konteksnya adalah perumpamaan Tuhan Yesus tentang orang Samaria yang baik hati.
Sekiranya yang dimaksud oleh Lukas 2:7 adalah "penginapan" semacam ini, mengapa bukan kata pandocheion ini yang dipergunakan?

  • Kata yang sama (kataluma) dipergunakan di dalam Lukas 22:11. Konteks ayat ini adalah: Tuhan Yesus yang akan merayakan Paskah bersama murid-murid-Nya, mengutus Petrus dan Yohanes untuk mempersiapkan tempat untuk perayaan itu. Ayat itu berbunyi demikian:

"Dan katakanlah kepada tuan rumah itu: Guru bertanya kepadamu: di manakah ruangan tempat Aku bersama-sama dengan murid-murid-Ku akan makan Paskah?"

Di sini kata kataluma yang diterjemahkan dengan "ruangan" itu mengandung pengertian "ruang tamu", yakni ruangan khusus yang biasanya disediakan di dalam rumah-rumah orang Yahudi pada zaman itu, untuk menampung orang-orang yang sedang dalam perjalanan dan mencari persinggahan atau tempat bermalam; itu adalah hal biasa pada zaman itu.

Berdasarkan penemuan arkeologis dan penyelidikan terhadap sumber-sumber sejarah, didapati bahwa interior rumah Yahudi di zaman itu biasanya terbagi dua: ruang utama untuk pemilik rumah dan keluarganya, biasanya terletak di lantai dasar/bawah; dan ruang tamu yang umumnya terletak di lantai atas. Tambahan pula: di ruang utama yang di lantai bawah itu biasanya ada bagian yang disediakan khusus untuk menampung hewan milik keluarga tersebut (kambing, domba, atau bahkan kuda pada keluarga yang cukup berada) pada malam hari (lihat gambar). Tujuannya adalah untuk melindungi hewan-hewan itu dari pencuri atau binatang buas; di samping itu, keberadaan hewan-hewan itu di dalam rumah itu ikut menambah hawa hangat, yang memang dibutuhkan pada malam hari. Di bagian khusus itu pula diletakkan - antara lain - palungan, untuk tempat makan/minum hewan-hewan tersebut.

Sekarang mari kita tengok keberadaan Yusuf dan Maria, tunangannya, yang saat itu tengah mengandung. Perjalanan mereka dari Nazaret ke Betlehem, adalah karena sedang diadakan sensus oleh penguasa Romawi, yang pada masa itu memang tengah menjajah Yudea; dan setiap penduduk diwajibkan kembali ke kota asalnya untuk didaftarkan di sana. Yusuf adalah keturunan Raja Daud, yang kampung halamannya adalah Betlehem (sering disebut juga kota Daud), maka ke sanalah dia harus pergi.

Mungkin sekali Yusuf memiliki sanak keluarga di Betlehem (walau Alkitab tidak menyebutkannya), dan adalah hal yang wajar apabila sesampai di kampung halamannya itu ia memilih singgah di rumah sanak keluarganya itu, ketimbang menyinggahi penginapan atau tempat bermalam yang biasa disinggahi rombongan kafilah seperti yang digambarkan di atas.

Kenyataan bahwa bayi Yesus, sesudah dilahirkan, dibaringkan di dalam  palungan, oleh karena mereka tidak mendapat tempat di dalam kataluma sebagaimana disebutkan dalam Lukas 2:7 itu, dapat dijelaskan sebagai berikut:

  • Keadaan Maria yang sedang hamil tua, tidak memungkinkan mereka untuk mengadakan perjalanan secara cepat, dan di Betlehem mereka sudah keduluan oleh sanak keluarga dari kota-kota lain; wajarlah jika kataluma atau ruang tamu di dalam rumah sanak keluarga yang mereka singgahi sudah penuh.

  • Tuan rumah pun berinisiatif menempatkan Yusuf dan Maria di ruang utama di lantai bawah - yang bersebelahan dengan bagian khusus tempat menampung hewan. Namun pastilah mereka takkan ditempatkan di bagian khusus hewan itu, walau mungkin sekali ruang utama itu sendiri pun sudah penuh juga oleh sanak keluarga lainnya.

  • Lantas bagaimana menjelaskan mengapa bayi Yesus, sesudah dilahirkan, ditempatkan di palungan? Bukankah ini memberi kesan bahwa Yusuf dan Maria memang ditempatkan di bagian penampungan hewan itu? Tidak juga. Pada waktu Maria bersalin, tentulah memerlukan privasi, sebagaimana layaknya bagi perempuan bersalin di manapun. Sementara ruangan-ruangan di rumah itu, yang sudah terisi penuh, baik yang di lantai atas untuk tamu, maupun yang di lantai bawah, tidak memungkinkan dia mendapatkan privasi itu. Satu-satunya tempat yang memungkinkan adalah bagian rumah yang menampung hewan itu. Sekiranya Maria melahirkan di siang hari, otomatis dia mendapat privasi di situ, karena di siang hari hewan-hewan itu tengah berada di luar rumah. Kalau dia melahirkan di malam hari, maka keluarga tuan rumah itu dapat mengambil tindakan darurat dengan menyingkirkan sementara hewan-hewan itu ke luar, untuk memberi tempat bagi Maria melahirkan di situ.

Jadi, kejadian sebenarnya tidaklah sebagaimana yang biasa digambarkan dalam drama-drama Natal modern di mana Yesus dilahirkan dalam kesepian, kesendirian, di kandang hewan yang terpencil. Bayi Yesus justru dilahirkan di tengah-tengah sanak keluarga-Nya, orang-orang yang memang menunggu kehadiran-Nya. Karena keadaan ibu-Nya, Maria, yang sudah hamil tua, tentu semua orang dalam rumah itu sudah bersiap-siap mengantisipasi saat bersalinnya yang sudah dekat.


Tambahan pula: Betlehem adalah sebuah desa kecil (Mikha 5:2), sehingga peristiwa kelahiran seorang bayi pastilah dengan segera dapat diketahui semua orang di sana. Pastilah banyak orang yang datang menengok sang bayi dan ibunya, di samping sanak keluarga mereka sendiri. Itulah sebabnya para gembala di padang (Lukas 2:8-20), yang mendapat pemberitahuan dari malaikat bahwa Mesias yang baru lahir itu dapat ditemui sedang terbaring di ""palungan", pastilah tidak sulit menemukan Dia. Mungkin mereka datang ke rumah tempat Yesus dilahirkan itu di saat orang-orang lain, dari sanak keluarga di sana, tengah berkumpul di malam hari itu di sekeliling bayi yang baru lahir itu. Itu sebabnya dikatakan dalam Lukas 2:17-18,

"Dan ketika mereka melihat-Nya, mereka memberitahukan apa yang telah dikatakan kepada mereka tentang Anak itu. Dan semua orang yang mendengarnya heran tentang apa yang dikatakan gembala-gembala itu kepada mereka."

Malam Kudus Para gembala itu terang-terangan mengutip pesan malaikat, bahwa bayi yang ada di tengah-tengah mereka saat itu adalah Mesias. Tentulah hal itu sangat mengherankan semua orang yang hadir di sana pada saat itu. Mungkin ada yang percaya, ada pula yang tidak; Alkitab tidak menceritakan lebih jauh, yang disebutkan hanya keheranan yang timbul.

Demikianlah sedikit paparan seputar kelahiran Tuhan kita, yang sedapat mungkin dilakukan secara obyektif dengan berpatokan semata-mata pada kesaksian Alkitab dan hasil penelitian historis dan arkeologis; kiranya boleh memberi pencerahan pada warga gereja dan sidang pembaca dari kalangan yang lebih luas, untuk lebih mengapresiasi historisitas Tuhan Yesus, sang Mesias itu, yang sudah hadir di tengah-tengah sejarah umat manusia dan dengan demikian menjadi bagian dari sejarah itu sendiri.

Selamat menyambut Natal, Tuhan Yesus memberkati!


Wednesday, December 2, 2015

Berani Menyebut Nama Yesus Di Depan Umum?


Saat kita pertama kali berkenalan dengan seseorang, apa yang pertama kali kita sebutkan? Nama diri kita, tentunya. Dalam situasi formal atau dalam konteks bisnis, kita biasanya memberikan/saling bertukar kartu nama. Hal ini bertujuan supaya kita, sebelum berkomunikasi lebih lanjut, dapat memastikan bahwa lawan bicara kita mengenal/tahu identitas diri kita, sehingga komunikasi menjadi lebih efektif. Sebuah nama mewakili pribadi sang pemilik nama. Saat membicarakan seseorang, kita menggunakan nama orang tersebut, sehingga lawan bicara kita tahu siapa yang kita maksudkan. Jika pun kita tidak mengetahui nama orang tersebut, kita akan "menciptakan" nama/sebutan sendiri bagi orang itu. Begitu pentingnya sebuah nama.

Dalam kaitan dengan iman Kristiani kita, suatu "nama" pun dapat menjadi penanda iman itu. Kita tidak beriman kepada sekumpulan doktrin yang diajarkan seorang nabi atau pendiri agama. Kita beriman kepada suatu Pribadi, dan Pribadi itu memiliki nama. Yesus Kristus.


Selaku umat percaya, yang sudah ditebus dengan darah Kristus -- dan karenanya, menjadi milik Allah -- kita semua menyandang satu Nama yang sama, yaitu Nama di atas segala nama -- YESUS. Nama itu terpatri di dalam jiwa dan roh kita, walau tidak selalu nampak secara fisik. Beberapa orang berusaha menunjukkannya melalui berbagai asesoris "kristiani" seperti kalung salib, bros berbentuk salib, atau bahkan tato bermotifkan salib. Apapun itu, kita semua yang mengaku percaya, sesungguhnya telah "ditempeli", dicap, dimeterai, dengan Nama Yesus.

Seringkali, nama bukan hanya sekedar merupakan sebutan atau penunjuk identitas diri. Lebih dari itu, suatu nama dapat mewakili diri pribadi sang pemilik nama. Misalnya, jika seorang penguasa memberi perintah atau misi khusus kepada bawahan-bawahannya, dan mereka menjalankan tugas yang diberikan, maka dapat dikatakan: mereka bertindak atas nama sang penguasa. Jika ada dari kalangan rakyat yang menolak atau membangkang, maka penolakan atau pembangkangan itu bukan ditujukan kepada para bawahan itu, melainkan langsung kepada sang penguasa.


Bisa jadi orang Kristen tidak menyadari bahwa nama Yesus adalah nama yang PENUH KUASA. Bukan artinya rangkaian huruf Y-E-S-U-S itu yang mengandung kuasa, melainkan oleh karena di belakang nama itu berdiri Sang Pribadi yang telah bersabda: "Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi" (Matius 28:18).
Seharusnya kita BANGGA di saat menyebut nama yang agung itu di hadapan orang lain, termasuk mereka yang tidak seiman. Namun kenyataannya, alih-alih merasa bangga, banyak dari kita justru terkesan MALU menyebut nama itu di depan orang. Mengapa bisa demikian?

Siapa tidak kenal AGNES MONICA? Mantan penyanyi cilik yang sekarang sudah go inernational itu, seperti kita tahu, selalu membuka setiap public speech-nya, terutama di saat menerima suatu penghargaan (award) di bidang musik, dengan ucapan syukur dan terima kasih kepada TUHAN YESUS. Nama yang agung itu disebutkannya dengan jelas dan lantang di hadapan semua orang yang mendengarnya. Dan hal itu bukan saja dilakukannya di Indonesia, tapi juga di luar negeri, seperti terlihat pada video di bawah ini (perhatikan pada 1:30):\


 

Adakah suatu kebetulan jika karirnya terus menanjak? Sesungguhnya Tuhan kita menghormati barangsiapa yang juga menghormati dan mengakui nama-Nya di hadapan manusia, dan yang jujur berterus terang bahwa segala prestasi dan pencapaiannya bukanlah karena kuat kuasanya sendiri, tapi atas anugerah-Nya semata; dan Tuhan tidak segan-segan meng-'angkat' orang yang demikian, dalam segala hal.

Sungguh disayangkan, bahwa hal yang berlawanan justru banyak ditemui di kalangan kita orang-orang percaya. Alih-alih menyebut nama Tuhan kita YESUS KRISTUS dengan jelas dan tanpa ragu-ragu di hadapan orang lain khususnya yang tidak seiman, sebagai satu-satunya Pribadi yang menjadi Sumber segala yang baik dalam hidup, banyak dari kita lebih suka 'menyamarkan' nama-Nya dengan sebutan yang sangat umum seperti 'Tuhan' atau 'Yang Maha Kuasa', atau 'Tuhan yang Maha Esa'. Padahal kita tahu sebutan yang demikian banyak digunakan pula oleh umat beragama lain, untuk menyebut 'Tuhan' yang mereka pahami menurut ajaran mereka sendiri.

Apakah sebenarnya yang menghalangi kita untuk terang-terangan menunjukkan identitas dari Dia yang kita sembah? Apakah karena kita merasa inferior sebagai kalangan minoritas dari segi jumlah? Atau, lebih buruk lagi, karena kita sebenarnya kurang mempercayai Dia sebagai Penopang hidup kita yang satu-satunya, sehingga malu mengakui Dia di hadapan orang lain?

Ingatlah perkataan Yesus yang jelas-jelas mengecam pengikut-Nya yang malu mengakui Dia di hadapan manusia:

"Setiap orang yang mengakui Aku di depan manusia, Aku juga akan mengakuinya di depan Bapa-Ku yang di sorga. Tetapi barangsiapa menyangkal Aku di depan manusia, Aku juga akan menyangkalnya di depan Bapa-Ku yang di sorga." (Matius 10:32-33)

Pikirkanlah dengan jernih: Adakah hal yang lebih penting bagi kita dari pada diakui oleh Yesus di hadapan Bapa di sorga? Bukankah segala hal yang kita anggap penting selama hidup kita yang fana, akan menjadi tidak berarti apa-apa apabila sesudah mati, kita tidak diakui di hadapan takhta Allah yang Maha Kuasa?


Beberapa orang mungkin berdalih: mereka menahan diri untuk tidak menyebut nama Yesus secara terang-terangan demi menjaga perasaan orang lain yang tidak seiman. Ya, sekilas mungkin alasan ini dapat dimengerti. Pertanyaannya adalah: apakah alasan itu dapat dibenarkan? Adakah kita lebih suka mengorbankan perasaan Dia yang sudah menyerahkan nyawa-Nya untuk kita, demi perasaan orang lain yang mungkin tidak pernah mengorbankan apapun  untuk kita?

Bagaimana dengan Anda? Masihkah Anda ragu-ragu menyebut nama YESUS dengan jelas dan terang di depan kawan-kawan Anda yang tidak seiman, di saat menceritakan kebaikan-Nya dalam hidup Anda?
Alkitab berkata demikian :

Bersyukurlah kepada TUHAN, serukanlah nama-Nya, perkenalkanlah perbuatan-Nya di antara bangsa-bangsa! (Mazmur 105:1)

Masihkah kita ragu-ragu untuk memasyhurkan Nama-Nya?