Lebih baik teguran yang nyata-nyata dari pada kasih
yang tersembunyi. (Amsal 27:5)
Kebaktian Minggu
pagi baru saja usai. Bill sengaja mendahului anggota jemaat lainnya bersalaman
dengan pendeta John (yakni ayahnya sendiri) dan para anggota majelis, supaya
dapat menunggu dan menemui pak Graham di luar. Hatinya berdebar, membayangkan
apa yang akan dibicarakannya dengan tuan konglomerat itu. Pak Graham selama ini
dikenal sebagai penyumbang dan pemberi persembahan dan sepersepuluhan dalam
jumlah terbesar di seluruh jemaat itu, bahkan di antara jemaat-jemaat gereja
lainnya di kota mereka. Sumbangan finansial pak Graham telah sangat membantu
berbagai program gereja. Bill menyadari, apa yang akan dikatakannya dapat
membuat pak Graham sangat gusar, dan akibatnya dapat memukul gereja itu sendiri
secara finansial, apabila pak Graham sampai memutuskan untuk menghentikan
segala sumbangan dan bantuannya, bahkan sampai keluar dari keanggotaan gereja.
Tapi Bill menguatkan hatinya. Ia tetap harus bicara! Ia meyakini, Tuhan
sendirilah yang menaruh beban di hatinya untuk menyampaikan pesan yang sangat
penting ini.
Setelah menunggu
beberapa menit di halaman gereja, anak muda itu melihat pak Graham muncul dari
tengah-tengah kerumunan jemaat di depan pintu gereja, diiringi istrinya, bu
Nathalie Graham. Setelah bersalaman dengan pendeta dan majelis, sambil
tersenyum lebar keduanya pun bersalam-salaman dengan anggota jemaat lainnya,
sambil sesekali berbasa basi singkat dengan beberapa orang. Saat selesai
berbasa basi, nampak keduanya berjalan ke arah mobil mereka yang diparkir di
dalam lapangan parkir gereja yang tidak terlalu besar.
Bill pun segera
bergegas menghampiri pasangan suami-istri tersebut, dan menyapa, "Hai pak
Graham, bu Graham," sambil menyalami keduanya, yang menyambutnya dengan
hangat, "Hai Bill."
Anak muda itu pun berkata, "Maaf pak
Graham, boleh saya berbicara berdua saja dengan Anda? Hanya sebentar."
"Oh iya…
Tentu…", jawab pak Graham, sambil melirik ke arah istrinya dengan sedikit
ragu.
"Pergilah Jim,
bicaralah kalian," kata bu Nathalie sambil tersenyum. "Aku akan
menunggu di mobil."
Lalu nyonya Graham
masuk lebih dulu ke dalam mobil.
Kedua lelaki itu pun
bergeser sedikit ke salah satu sudut lapangan parkir gereja, yang sudah
terlihat agak kosong karena sebagian besar kendaraan milik warga jemaat yang
sebelumnya diparkir di situ sudah meninggalkan tempat itu.
Pak Graham memandang
anak muda itu, yang wajahnya nampak sangat serius, sehingga menimbulkan tanda
tanya di dalam hatinya.
"Ada apa, Bill?
Nampaknya serius sekali," kata pak Graham. "Semua baik-baik saja
'kan?"
Bill nampak ragu
sejenak, lalu ia berkata, "Saya harap Anda tidak tersinggung mendengar apa
yang akan saya utarakan ini , pak Graham -- karena ini menyangkut diri
Anda."
"Saya??
Mengapa, Bill? Ada yang tidak beres? Atau ada masalah, barangkali?"
Ada sedikit nada
kecemasan dalam suara pak Graham, tapi ia berusaha menahannya.
Bill menarik nafas
dalam-dalam, lalu dengan suara yang makin dikecilkan, seolah-olah khawatir ada
yang ikut mendengar, ia mulai menceritakan kepada pak Graham apa yang
dialaminya sehari sebelumnya.
Pada hari Sabtu
malam itu, tidak ada sesuatu yang istimewa. Jam menunjukkan kira-kira pukul
setengah delapan malam, dan Bill sedang berjalan pulang, selepas memimpin ibadah remaja di rumah salah satu
warga jemaat. Ketika ia baru saja lewat di depan sebuah hotel kecil, tiba-tiba
di dalam batinnya ia seperti mendengar bisikan, "Masuklah ke hotel
itu."
Bill tertegun, dan
menghentikan langkahnya. Ia menunggu sebentar, hingga didengarnya kembali
bisikan itu, "Masuklah ke hotel itu."
Bill pun yakinlah,
bahwa bisikan itu berasal dari Tuhan. Tapi apa maksud-Nya? Namun Bill tidak
menunggu lebih lama lagi. Ia pun melangkah hendak masuk, dan langsung disambut
ramah oleh petugas penjaga pintu, "Selamat datang." Bill membalas
ramah sapaan itu, "Terima kasih."
Setelah berada di
dalam lobby hotel, ia memandang ke sekelilingnya. Tidak banyak orang yang
dilihatnya di situ. Di sebelah kirinya, di salah satu sudut lobby, 3 orang pria
nampak sedang berbincang santai di ruang duduk, sedang di sebelah kanan hanya
ada 1 orang sedang sibuk dengan laptopnya. Tidak ada satupun orang yang dikenal
Bill di situ.
"Apa
selanjutnya?" tanya Bill dalam hati.
Seolah menjawab
pertanyaannya, terdengar kembali bisikan itu, "Pergilah ke lift."
Bill pun
melangkahkan kakinya. Setelah diberitahu oleh petugas front desk di mana letak
lift hotel itu, tanpa membuang-buang waktu Bill segera melangkah ke sana.
Setelah berdiri di
depan pintu lift, dan menunggu kira-kira lima menit, pintu itu pun terbuka.
Kosong.
Bill pun melangkah
masuk.
Tiba-tiba ia
tertegun lagi. Tombol ke lantai berapa yang harus ditekannya?
Lalu ia merasa
tangannya dituntun. Ia pun menekan tombol bernomor 4.
Tidak lama kemudian,
sampailah ia ke lantai yang ditujunya. Setelah melangkah ke luar lift, ia
mengamati sekeliling lorong hotel itu. Sepi.
Tapi kemudian,
kira-kira 20 meter di depannya, dari ujung lorong muncul dua orang, pria dan
wanita. Yang wanita sama sekali tidak dikenal Bill. Ia nampak mesra sekali
menggandeng lengan pria itu. Ia nampak masih sangat muda, mungkin sedikit lebih
muda dari Bill, dan sangat cantik.
Sedang yang pria justru sangat dikenalnya.
Pak Graham.
Mulut Bill sudah
terbuka hendak menyapa. Tapi dengan segera diurungkan niatnya itu. Timbul
pikiran aneh di kepalanya. Mengapa pak Graham berada di hotel, di malam hari,
hanya berdua saja dengan seorang wanita asing yang bukan istrinya?
Ali-alih hendak
menyapa, Bill justru dengan sengaja membalikkan badan, membelakangi pasangan
itu, lalu mengeluarkan ponsel dari sakunya, dan pura-pura hendak menelepon
seseorang. Ia berharap pak Graham tidak mengenalinya, walaupun kemungkinan itu
kecil, pikirnya.
Tapi entah kenapa,
pak Graham tidak mengenali Bill sama sekali. Ketika jarak mereka hanya tinggal
kira-kira 5 meter, pak Graham memasukkan kunci ke salah satu pintu kamar, dan
membukanya. Mereka berdua, ia bersama gadis muda itu, pun masuk ke dalam. Pintu
pun langsung ditutup, dan Bill mendengar sayup-sayup suara kedua orang itu
tertawa-tawa, seperti sedang saling bercanda.
"Sudah
cukup," kata Bill dalam hati. "Tuhan menyuruhku ke sini untuk melihat
hal ini. Sekarang aku sudah melihatnya. Waktunya aku pulang."
Ia pun bersegera
menuju ke lift.
Malam itu Bill
berdoa menggumuli apa yang dilihatnya di hotel. Ia pun menyudahi doanya dengan
keyakinan bahwa ia harus memperingatkan pak Graham akan apa yang dilakukannya,
dan Tuhan menugaskan hal itu khusus kepadanya. Baik, Tuhan! Aku akan mengatakan
itu kepadanya di Minggu besok, batin Bill. Ia pun tertidur segera sesudah itu,
dengan pikiran yang sedikit lebih tenang.
Demikianlah Bill
menyudahi ceritanya, sambil memandang reaksi pak Graham yang sedang tertegun di
depannya.
"Saya sangat
berharap saya keliru, pak Graham," kata Bill. "Tapi melihat
keberadaan Anda di hotel itu, di malam hari, bersama seorang gadis, ..."
"Bill!"
sela pak Graham tiba-tiba. "Saya mohon, jangan ceritakan kepada
siapa-siapa apa yang kau lihat itu. Terutama kepada istriku. Okay?"
Bill memandang raut
muka pak Graham. Nampak kecemasan yang teramat sangat. Dan kegugupan.
Ia berpaling sejenak
ke mobilnya. Nampak istrinya di dalam mobil, di sebelah kursi pengemudi, sedang
sibuk sendiri dengan ponselnya.
Ia berpaling kembali
kepada Bill.
"Dengar!
Bantuan apa yang kau perlukan? Aku akan berikan berapapun yang kamu
minta!"
"Pak
Graham..."
"Atau untuk
sekolahmu? Oh ya, aku dengar kau sedang mencari beasiswa, bukan? Katakan saja,
aku punya banyak kenalan orang-orang penting yang dapat mengurus hal itu. Aku
jamin, kau akan mendapatnya tanpa kesulitan..."
"Pak
Graham!" Bill menyela dengan tegas. "Saya menceritakan hal ini bukan
karena mengingini sesuatu dari Anda."
Pak Graham terdiam.
"Kalau pun ada
yang saya inginkan dari Anda, maka yang saya inginkan adalah melihat perkawinan
Anda diselamatkan," lanjut Bill. "Itu juga pasti yang diinginkan
Tuhan, bukan? Itu sebabnya Ia memperlihatkan kepada saya segala sesuatunya malam
itu."
Pak Graham
tertunduk.
"Anda belum
terlambat, pak Graham," kata Bill, sambil memegang erat kedua lengan
lelaki itu. "Tuhan menyuruh saya memperingatkan Anda, artinya Anda masih
diberi-Nya kesempatan. Tapi saya minta, jangan Anda menunda-nunda untuk
menyesalinya, bertobat, dan memperbaiki segala sesuatu. Semakin lama Anda
menunda, iblis akan mengeraskan hati Anda, sehingga segala peringatan dari
Tuhan itu menjadi sia-sia. Selanjutnya, Anda hanya akan menunggu
kehancuran."
Pak Graham tersentak
mendengar kata-kata itu. Tapi ia berusaha menguasai dirinya.
"Saya sarankan,
bereskanlah segala sesuatunya hari ini juga, pak Graham. Jangan menunda
lama-lama."
Sementara itu, di
dalam mobil, nampak bu Nathalie mulai gelisah, karena sudah lama menunggu. Ia
memandang ke arah kedua lelaki itu, yang masih nampak serius berbicara. Dan ia
sedikit heran, melihat raut muka suaminya dari kejauhan, nampak gugup. Ada apa?
Kemudian dilihatnya
Bill menggenggam erat tangan suaminya dan menepuk pelan bahunya, sambil
mengucapkan sesuatu, tapi ia tak dapat mendengar apa yang dikatakannya. Lalu
keduanya berpisah. Bill terlihat masuk kembali ke dalam gereja, melalui pintu
samping. Kebetulan hari itu ia bertugas sebagai salah satu pengajar Sekolah
Minggu, yang akan berlangsung beberapa saat lagi.
Suaminya melangkah
menuju mobil. Wajahnya terlihat biasa saja, tapi istrinya melihat ada yang
tidak biasa dalam cara berjalannya, yang nampak sedikit berat, seperti sedang
menyeret sebuah beban yang sangat berat. Ada apa dengan suaminya? Apakah karena
sesuatu yang dikatakan Bill?
Tapi karena dalam
perjalanan pulang nanti suaminya yang memegang kemudi, ia memutuskan untuk
tidak bertanya apapun selama di jalan, supaya tidak mengganggu konsentrasinya
dalam mengemudi. "Aku akan menanyakannya nanti di rumah," batin
istrinya.
Tapi setibanya
mereka di rumah, ternyata kesempatan itu tak diperolehnya. Begitu keduanya
memasuki pintu depan, suaminya berkata kepadanya, "Nath, kepalaku agak
pening. Aku ingin berbaring sebentar."
Istrinya tidak
bertanya macam-macam. Ia hanya menjawab, "Baiklah," lalu menambahkan,
"Apa ada yang perlu kuambilkan untukmu, Jim?"
"Tidak, Sayang.
Terima kasih," jawab suaminya. Ia lalu masuk ke kamarnya, dan langsung
membaringkan dirinya. Tanpa mencopot sepatu, tanpa mengganti baju.
Istrinya menyusul di
belakangnya. Ketika dilihatnya suaminya langsung berbaring seperti itu, ia
mendekatinya, lalu dengan sabar mencopoti kedua sepatu suaminya, berikut kaus
kakinya. Tidak lupa dibetulkannya posisi bantal kepala sang suami, supaya lebih
nyaman baginya.
"Kalau kau
perlu sesuatu, panggil saja aku ya Sayang," kata wanita itu. Diciumnya
lembut dahi lelaki yang sangat dicintainya itu. Jim Graham hanya mengangguk
pelan, dengan mata yang sudah setengah terpejam. Lalu Nathalie pergi keluar
meninggalkan kamar itu, seraya menutup pintunya pelahan.
Selagi berbaring
dengan mata terpejam, pikiran Jim mulai menerawang. Ia teringat peristiwa di
Sabtu malam sebelumnya, tepat seminggu sebelum Bill melihatnya di hotel bersama
Cindy malam itu. Malam itu, ia sedang duduk di lobby hotel, menunggu Cindy. Ia
sudah berkata pada istrinya, akan bertemu klien. Ketika ia sedang menunggu,
dilihatnya pendeta John masuk melalui pintu depan. Pendeta John juga
melihatnya, lalu mendekati dan menyalaminya.
"Selamat malam,
pak Pendeta," sapa Jim, sambil menjabat tangan pendeta John.
"Selamat malam,
pak Graham," jawab pendeta John sambil tersenyum. "Apa kabar?"
"Baik, pak
Pendeta. Saya... sedang menunggu klien."
"Ahh
begitu," sahut pendeta John. Kemudian ia melanjutkan, "Sayang ya, di
kota ini tidak ada hotel lain yang lebih besar dari ini. Malah saya berpikir,
untuk bertemu dengan klien, sebenarnya rumah Anda sendiri malah lebih nyaman.
Lebih besar, lebih megah."
Jim tersenyum, lalu
menyahut, "Ah, Anda melebih-lebihkan saja, pak Pendeta."
"Tapi ah, tahu apa saya," jawab pendeta John,
sambil tertawa. "Saya kan pendeta, yang pengusaha itu Anda. Tentu punya
pertimbangan sendiri."
"Saya sekedar
senang saja, dengan suasana di sini," kata pak Graham.
"Tentu, tentu.
Di sini cukup tenang," kata pendeta John. "Sepupu saya juga menginap
di sini. Ia baru tiba dari luar kota, dan berencana tinggal seminggu di sini
untuk urusan bisnis. Saya ke sini untuk menemuinya, sekaligus memintanya untuk
tinggal saja bersama kami, selama ia berada di kota ini."
"Iya betul, pak
Pendeta," timpal Jim. "Untuk apa tinggal di hotel, kalau sudah ada
kerabat dekat yang sudah bersedia menampung di rumahnya?"
"Betul sekali,
pak Graham," jawab pendeta John. Kemudian ia memalingkan wajahnya, tepat
pada saat ada seorang lelaki yang agak gemuk, nampak baru keluar dari lift, dan melihat sekeliling
seperti sedang mencari seseorang.
"Ah, itu dia
sepupu saya," kata pendeta John. "Saya ke sana dulu untuk menemuinya,
pak Graham."
"Silakan, pak
Pendeta."
"Senang bertemu
dengan Anda," kata pak Pendeta, sambil kembali menjabat tangan pak Graham.
"Semoga pertemuan bisnis Anda sukses. Tuhan memberkati."
"Sama-sama, pak
Pendeta," jawab Jim. "Tuhan memberkati Anda juga."
Lalu pendeta John
melangkah mendekati lelaki gemuk tadi, untuk menemuinya. Baru saja pendeta John
meninggalkan Jim beberapa langkah, Cindy muncul dari pintu depan hotel. Begitu
melihat pak Graham, gadis itu segera mendekatinya, lalu langsung merangkulnya.
"Apa kabar,
Sayang? Maaf ya, aku terlambat" sapa Cindy, lalu menciumnya dengan mesra di bibirnya.
Tepat pada saat itu,
pendeta John sempat menoleh ke arah Jim. Ia tertegun.
Ia heran melihat pak
Graham sedang berciuman mesra dengan seorang gadis muda.
Mata Jim sempat
melirik ke arah pendeta John, dan ia langsung saling bertatapan dengan mata
pendeta itu. Betapa terkejutnya Jim, dan langsung melepaskan ciumannya dari
bibir Cindy.
"Ada apa,
Sayang?" tanya gadis itu, dengan heran. "Kamu marah ya..."
"Ti-tidak,
Sayang," jawab Jim. "Emmm... Kita langsung ke kamar saja yuk?"
"Yuk,"
jawab Cindy, sambil kembali tersenyum.
Pikiran Jim pun
kembali ke masa kini. Ia berpikir, pasti pendeta John pun saat itu sudah
mencium sesuatu yang tidak biasa di malam itu. Tapi ia tidak berkata atau
menanyakan apapun tentang hal itu kepadanya, baik di hari Minggu esoknya maupun
hari Minggu berikutnya.
Sedang Bill?
Sekali melihat
ketidakberesan pada diri Jim, Bill langsung menegurnya di hari berikutnya.
Dan ia bergidik
mengingat kata-kata Bill.
"Semakin lama
Anda menunda, iblis akan mengeraskan hati Anda, sehingga segala peringatan dari
Tuhan itu menjadi sia-sia. Selanjutnya, Anda hanya akan menunggu
kehancuran."
Tiba-tiba hatinya
bergetar. Air matanya pun mulai menetes.
Sementara itu,
kekhawatiran bu Graham mulai muncul, ketika menjelang petang suaminya tidak
kunjung keluar dari kamar, ataupun memanggilnya untuk sesuatu keperluan.
Beberapa telepon yang masuk terpaksa ditolaknya, dengan alasan suaminya sedang
sakit. Sedang ia sendiri mulai berpikir, apakah suaminya benar-benar sedang
sakit? Saat makan siang pun ia tidak nampak, padahal biasanya ia yang paling
dahulu ada di sana.
Terdorong rasa
kuatirnya, Nathalie pun bergegas mendatangi kamar tempat suaminya berbaring.
Namun, saat tangannya menyentuh pegangan pintu dan hendak membukanya, ia
tertegun. Sayup-sayup didengarnya suara dari dalam. Seperti suara tersedu-sedu.
Hah? Suaminya sedang menangis? Ada apa gerangan?
Pelahan dibukanya
pintu kamar, dan dengan hati berdebar-debar ia menengok ke dalam. Apa yang
dilihatnya? Nampak suaminya sedang duduk di pinggir ranjang, sambil membungkuk
dalam-dalam dengan tangan menutupi wajah. Suara sedu-sedan itu makin jelas
terdengar, dan memang itu suara Jim, suaminya.
Nathalie pun
melangkah masuk, dan pelahan-lahan mendekati suaminya dengan perasaan
campur-aduk antara rasa kuatir dan rasa heran. Mengapa ia tiba-tiba melihat
suaminya menangis? Apakah rasa pusing di kepala yang dialaminya tadi, karena ia
menyimpan suatu masalah? Masalah yang sangat berat, hingga tidak mampu ia
utarakan? Beribu pertanyaan muncul di pikirannya.
Apakah ada
hubungannya dengan percakapannya dengan Bill, tadi pagi? Ia sudah merasa tidak
enak, melihat perubahan sikap suaminya sejak saat itu. Apa yang mereka
percakapkan? Ada apa sebenarnya?
Sementara hatinya
masih bertanya-tanya, ia melihat suaminya pelahan-lahan mengangkat wajahnya,
lalu memandang kepadanya dengan matanya yang sudah merah dan berair. Apa yang
terjadi selanjutnya, lebih mengejutkannya lagi. Suaminya tiba-tiba menerpa dan
merangkul kedua kaki istrinya yang masih berdiri termangu-mangu. Ia memeluk
kaki Nathalie erat sekali, dan mulai menangis lagi, bahkan lebih keras dari
sebelumnya. Badannya berguncang-guncang hebat sekali karena tangisan itu,
hingga Nathalie hampir kehilangan keseimbangan. Tapi ia segera menguasai
dirinya.
Pelahan Nathalie
membungkuk dan menyentuh bahu suaminya, sambil dengan lembut memintanya
berdiri. Tapi Jim seolah menolak, bahkan mempererat pelukannya pada kaki
istrinya. Di tengah-tengah tangisannya ia mendongakkan wajahnya yang sudah
memerah, memandang istrinya, lalu meraung dengan sangat menyayat hati,
"Nathalie! Maafkan aku! Aku sudah berdosa! Aku benar-benar bejat!"
Istrinya
terheran-heran mendengarnya.
"Apa maksudmu,
Jim? Ayolah berdiri..."
Tapi suaminya
menggeleng-geleng dengan keras, bahkan semakin kuat raungannya, "Aku
berdosa! Tidak patut dimaafkan! Nathalie, aku sudah gagal sebagai suami!"
"Apa sih yang
kau bicarakan? Ayo berdirilah, Jim. Mari kita duduk, lalu kau jelaskan
padaku," sahut istrinya, masih dengan nada lembutnya.
Setelah dengan susah
payah dan sedikit memaksa, akhirnya Nathalie berhasil membuat suaminya duduk
kembali di pinggir ranjang, dan dia sendiri duduk di sampingnya.
"Ada apa, Jim?
Kau membuatku bingung dengan omonganmu," kata istrinya, sambil memegang
dan menepuk lembut di pundak suaminya, untuk menenangkannya. Jim berusaha keras
meredakan tangisnya sendiri, dan badannya yang sejak tadi berguncang-guncang pelahan
mulai meneduh.
"Ayo, jelaskan
padaku. Apa yang sudah kau perbuat, Jim? Apa yang terjadi?"
Ia melihat suaminya
berusaha mengatur nafasnya, menarik nafas dalam-dalam, mengeluarkannya lagi.
Nathalie pun menanti dengan sabar, hingga suaminya siap berbicara.
"Nath,"
kata suaminya. Lalu ia terdiam sebentar.
Kata-kata berikutnya
bagai geledek di telinga Nathalie.
"Aku sudah
berselingkuh..."
Nathalie terdiam.
Berusaha memastikan ia tidak salah dengar.
"A-apa?"
istrinya berkata pelan, nyaris bagai bisikan. "Jim? Kau...?"
"Berselingkuh,
Nathalie... Ya, kau tidak salah dengar... Aku punya affair dengan perempuan lain..."
Nathalie berusaha
keras menguasai dirinya. Ia berusaha untuk tetap tenang. Tangannya yang sedang
menyentuh bahu suaminya, sempat gemetaran. Maka ia pun pelahan melepaskan bahu
Jim, dan menaruh tangannya pada pahanya sendiri.
Siapa sangka, ia
akan pernah mendengar hal ini? Dan ini keluar dari mulut suaminya sendiri.
Nathalie pun
menanyakan hal yang pertama terlintas di pikirannya.
"Dengan
siapa...?"
Ia ingin tahu, siapa
wanita yang telah sanggup membuat suaminya yang setia dan penyayang itu,
berpaling darinya.
"Cindy..."
Nathalie terdiam
lagi. Cindy?
Gadis muda itu. Ya,
tentu saja. Dirinya sendiri sudah tidak muda lagi. Itu sebabnya Jim mencari
yang masih belia. Dan Cindy adalah pilihan ideal. Tentu saja.
"Apa aku sudah
tidak menarik lagi buatmu, Jim...?"
Suara istrinya
nyaris tidak terdengar. Tapi Jim dapat mendengarnya dengan jelas. Bahkan sangat
jelas. Nyaring, bagai petir di batinnya.
"Nath, aku
sudah khilaf.... Sudah tersesat! Aku tidak tahu apa yang aku perbuat...",
jawab suaminya terbata-bata.
Keduanya terdiam.
Lalu Jim menyambung, "Kalau saja aku dapat memperbaiki ini semua..."
"Begini saja,
Jim," sela istrinya. "Aku tidak marah kepadamu. Tapi aku juga tidak
ingin ini menggantung dalam ketidakjelasan."
Jim memandang
Nathalie. Menanti kata-katanya selanjutnya.
"Sekarang,
pilihlah. Aku, atau dia."
Jim memandang lurus
pada istrinya. Lalu katanya -- dan kali ini, tidak terbata-bata lagi,
"Nath! Kalau itu pilihannya, tentu saja aku memilih kau!"
Dan sambungnya lagi,
"... Kalau aku masih boleh mendampingimu, tentunya..."
Nathalie balas
memandang mata suaminya. Dalam, dan tajam sekali. Seolah berusaha melacak,
mencari tanda-tanda keseriusan dari kata-katanya tadi.
Dan ia menemukannya.
Suaminya serius. Ya, sangat serius. Tanpa kepura-puraan.
Nathalie pun
tersenyum, ketika temuannya diperkuat dengan kata-kata Jim selanjutnya.
"Nath, aku akan
putuskan Cindy, hari ini juga. Saat ini juga!"
Jim segera meraih
ponselnya, yang tergeletak di meja di samping ranjang.
Ketika ia sedang
menekan-nekan tombol di ponselnya untuk mencari nomor Cindy, istrinya berkata,
"Jangan lupa katakan satu hal ini padanya, Jim."
Suaminya
memandangnya.
"Apa, Nath?
"
"Jangan lupa
minta maaf padanya. Karena kau sudah memanfaatkan dia untuk kesenanganmu."
Suaminya pun
tercenung sebentar. Meresapi kata-kata istrinya. Lalu mengangguk.
"Tentu, Nath.
Akan kukatakan itu padanya."
"Katakan
juga", lanjut istrinya, sambil memegang lengan suaminya, "bahwa aku
tidak marah padanya."
Jim sejenak
memandang wajah istrinya, lalu tersenyum.
"Memang tidak
salah aku memilihmu sebagai istri, Nath."
Nathalie ikut
tersenyum.
Bibir mereka berdua
pun bertemu. Berciuman, lama sekali.
Lalu Jim berkata
sesudahnya, "Mengapa aku bisa sebodoh itu?"
"Kau ini memang
bodoh sejak dulu, Jim," canda istrinya, dengan senyum yang makin lebar.
"Dan aku lebih bodoh lagi, karena mau menjadi istrimu."
Keduanya tertawa.
"Sudahlah, Jim.
Cepat telepon dia," sergah Nathalie.
"Oh, iya,"
jawab suaminya, seperti tersadar.
Malam itu, terdengar
ketukan di pintu rumah pendeta John. Istrinya, Mary, membukakan pintu.
"Selamat malam,
bu Larson," sapa Jim Graham, sambil berdiri di depan pintu.
"Oh, pak Jim
Graham rupanya," sapa Mary, dengan ramah. "Selamat malam, silakan
masuk Pak. Kehormatan besar bagi kami, ketamuan Anda."
Jim tersenyum, lalu
melangkah masuk. Ia pun dipersilakan duduk di ruang tamu.
"Pak Pendeta
ada, Bu?" tanya Jim.
"Oh ya,
kebetulan suami saya juga baru pulang dari kunjungan ke warga jemaat,"
sahut bu Mary. "Tunggu sebentar ya Pak. Saya panggilkan beliau."
"Terima kasih,
Bu," jawab Jim.
Beberapa menit
kemudian, pendeta John pun keluar untuk menemui tamunya, dengan pakaian santai
namun tetap rapih, seperti kebiasaannya.
Jim pun berdiri,
untuk menyalami sang tuan rumah.
"Selamat malam,
pak Pendeta," kata Jim.
"Selamat malam,
pak Graham," jawab pendeta John, sambil menjabat tangan Jim yang terulur.
"Apa kabar?"
"Puji Tuhan,
amat sangat baik, pak Pendeta," jawab Jim. "Khususnya sekarang."
Oh, puji Tuhan.
Syukurlah kalau begitu," sahut pendeta John, sambil tersenyum.
Setelah berbasa basi
sejenak dan keduanya duduk, Jim pun mulai mengutarakan maksud kedatangannya.
"Saya datang
untuk membuat pengakuan, pak Pendeta," kata Jim.
Alis pendeta John
terangkat sedikit, mendengar itu. "Ah, benarkah? Tentang apa?"
"Pak pendeta
masih ingat, pertemuan kita di hotel? Waktu pak pendeta datang untuk menemui
sepupu bapak di sana?"
"Oh iya,
tentu," jawab pendeta John. "Waktu itu Anda sedang menunggu klien Anda."
Jim terdiam
sebentar. Lalu ia berkata, "Itu yang mau saya akui, pak Pendeta."
Dan selanjutnya, Jim
pun bercerita panjang lebar. Bagaimana ia mengenal Cindy dari salah seorang
kliennya, bagaimana mereka mulai berhubungan gelap, termasuk kencan mereka yang
tanpa sengaja dipergoki oleh pendeta John di hotel pada malam itu.
Juga ia berkata,
bahwa ia sudah mengakui semuanya pada Nathalie, dan mereka sudah berdamai hari
itu juga. Dan sekaligus ia sudah mengakhiri hubungannya dengan Cindy, demi
memulihkan pernikahannya.
"Segala puji
syukur bagi Tuhan," kata pendeta John, segera setelah Jim mengakhiri
ceritanya.
"Saya senang
Anda sudah menyadari semua kesalahan Anda, dan sudah bertobat, pak
Graham," pendeta John melanjutkan.
"Dan sekaligus
saya mau berterima kasih pada Bill, yang sudah menegur saya. Dialah yang
dipakai Tuhan untuk menyelamatkan rumah tangga kami."
"Akan saya
sampaikan," kata pendeta John. "Dia sedang keluar ke rumah
temannya."
"Cuma satu hal,
pak Pendeta," kata Jim. "Satu hal --- ehm, yang agak saya
sesalkan."
"Apa itu,
pak?"
"Saya yakin,
Anda sudah mencium sesuatu yang tidak biasa, pada malam itu. Dan Anda pun
melihat dengan jelas, waktu Cindy menemui saya. Saya heran juga, sejak saat itu
Anda tidak pernah menyinggung, atau menanyakan hal tersebut pada saya. Yah,
memang di pikiran saya pada waktu itu, kalaupun Anda menanyakan, pastilah akan
saya jawab dengan berbagai dalih. Tapi intinya, Anda diam saja. Anda sebagai
pendeta, yang -- setahu saya -- bertanggung jawab "memelihara"
jemaat. Malah akhirnya Bill-lah yang digerakkan Tuhan untuk memperingatkan
saya."
Seketika pendeta itu
terdiam.
Lebih baik teguran yang nyata-nyata dari pada kasih
yang tersembunyi. (Amsal 27:5)